Para ilmuan telah lama sadar adanya hubungan  antara latihan sonar angkatan laut dengan terdamparnya paus berparuh  secara massal. Bukti hubungan demikian memicu sejumlah tuntutan hukum  dimana para aktivis lingkungan menuntut Angkatan Laut AS agar membatasi  latihan sonar untuk mengurangi resiko yang dialami paus. Tahun 2008,  konflik ini muncul ke level Mahkamah Agung yang harus menyeimbangkan  ancaman kelestarian paus dari sonar dengan resiko militer yang  disebabkan latihan angkatan laut yang menggunakan sonar untuk mendeteksi  kapal selam musuh. Pengadilan memutuskan kalau Angkatan Laut dapat  terus berlatih, namun Angkatan Laut diwajibkan mengembangkan metode yang  lebih baik untuk melindungi para paus.
Pengetahuan  paling kritis untuk melindungi paus-paus ini dari resiko sonar termasuk  mengukur threshold antara level paparan yang aman dan beresiko, namun  hingga kini tidak diketahui bagaimana paus berparuh merespon sonar dan  level yang dapat menyebabkan masalah. “Kita tahu sedikit sekali mengenai  paus berparuh karena mereka hidup di perairan yang dalam jauh di lepas  pantai, dimana mereka dapat menyelam dalam satu tarikan napas ke  kedalaman hingga lebih dari satu mil selama satu setengah jam,” kata  Peter Tyack, ilmuan senior di Lembaga Oseanografi Woods Hole (WHOI).
Sekarang,  sebuah tim peneliti internasional melaporkan dalam sebuah makalah yang  dipimpin oleh Tyack, data pertama mengenai bagaimana paus berparuh  merespon latihan sonar angkatan laut. Hasil mereka menyarankan bahwa  sonar memang mempengaruhi perilaku dan gerakan paus.
Tyack  dan koleganya menggunakan dua metode kompelementer untuk menyelidiki  respon perilaku paus berparuh terhadap sonar: “pendekatan oportunistik  yang memonitor respon paus pada latihan angkatan laut multi hari  mencakup sonar frekuensi menengah taktis, dan pendekatan eksperimental  menggunakan playback sonar simulasi dan suara pengendali pada paus yang  ditandai dengan peralatan yang merekam suara, gerakan dan orientasi,”  lapor para ilmuan dalam edisi terbaru jurnal ilmiah online PLoS ONE, yang diterbitkan oleh Public Library of Science.
Tim  peneliti mengembangkan eksperimen yang meningkatkan level sonar secara  perlahan pada paus yang ditandai, menghentikan paparan segera saat paus  mulai merespon, mengukur paparan tersebut, dan mendefinisikan responnya.  Pendekatan eksperimental menggunakan tanda untuk mengukur paparan  akustik dan reaksi perilaku paus berparuh pada paparan terkendali  masing-masing pada sonar militer simulasi, panggilan paus pembunuh dan  derau pita terbatas. “Eksperimen ini  sangat sulit dikembangkan, dan merupakan terobosan besar walaupun semata  hanya mampu mengembangkan sebuah studi yang dapat dengan aman meneliti  respon ini,” kata Tyack. “Tiga kali paus berparuh yang ditandai terpapar  suara playback secara eksperimental saat mereka mencari makan di  kedalaman, mereka lalu berhenti mencari makan secara tiba-tiba lalu naik  ke permukaan secara perlahan, menjauh dari suara.
Paus  berparuh menggunakan biosonar mereka sendiri untuk mencari mangsa saat  mereka mencari makan; ini artinya ia dapat berhenti memonitor adanya  mangsa dengan mendengarkan saat biosonarnya berhenti berdetik. Para  ilmuan menemukan kalau paus berparuh merespon sonar dengan berhenti  berdetik, mereka mampu memonitor reaksi paus berparuh saat latihan sonar  aktual dari kejauhan. Penelitian ini dilakukan di daerah pengujian  angkatan laut dimana array mikrofon bawah air atau hidrofon, menutupi  lantai laut, memungkinkan suara paus dimonitor dalam lebih dari 1500 km  persegi. “Saat latihan sonar aktual, paus berparuh umumnya terdeteksi di  dekat periferi daerah, rata-rata 16 km dari transmisi sonar. Saat  latihan berhenti, paus berparuh perlahan mengisi pusat jangkauan dalam  2-3 hari,” lapor mereka.
Seekor paus  yang ditandai satelit bergerak keluar jangkauan saat latihan, kembali  sekitar 2-3 hari setelah latihan. “Hasil kombinasi menunjukkan gangguan  serupa pada perilaku mencari makan dan penghindaran oleh paus berparuh  dalam dua konteks berbeda, pada paparan di bawah batas yang ditentukan  pemerintah sebagai batas aman,” lapor para ilmuan. “Hal  ini menunjukkan kalau paus berparuh sangat sensitif pada suara.  Perilaku mereka cenderung diganggu oleh tingkat paparan sekitar 140  desibel (dB), sehingga mereka memerlukan threshold yang lebih rendah  daripada banyak peraturan terbaru yang mengantisipasi gangguan perilaku  sekitar 160 dB,” kata Tyack. “Namun pengamatan pada jangkauan angkatan  laut menunjukkan kalau walaupun sonar dapat mengganggu perilaku paus,  pengawasan dan manajemen yang baik dapat mengurangi resiko mereka  terdampar.”
Penelitian ini didukung  oleh Kantor Penelitian Angkatan Laut AS, Penelitian dan Pengembangan  Lingkungan Strategis AS, Divisi Kesigapan Lingkungan Angkatan Laut AS,  Divisi Perang Kapal Selam Operasi Angkatan Laut AS (Pengawasan Bawah  Laut), NOAA dan Program Industri Bersama pada Suara dan Kehidupan Laut  di Asosiasi Produsen Minyak dan Gas Internasional. Para pemberi dana  tidak terlibat dalam desain studi, pengumpulan dan analisa data,  keputusan untuk menerbitkan atau persiapan naskah.
Sumber berita :
Referensi Jurnal:
Tyack,  P.L., Zimmer, W.M.X., Moretti, D., Southall, B.L., Claridge, D.E.,  Durban, J.W., Clark, C.W., D’Amico, A., DiMarzio, N., Jarvis, S.,  McCarthy, E., Morrissey, R., Ward, J., Boyd, I.L. Beaked Whales Respond to Simulated and Actual Navy Sonar. PLoS ONE, 2011; 6 (3): e17009 DOI: 10.1371/journal.pone.0017009


0 komentar:
Posting Komentar