Pages

Senin, 19 Maret 2012

Latihan Sonar Angkatan Laut Menyebabkan Terdamparnya Paus

Para ilmuan telah lama sadar adanya hubungan antara latihan sonar angkatan laut dengan terdamparnya paus berparuh secara massal. Bukti hubungan demikian memicu sejumlah tuntutan hukum dimana para aktivis lingkungan menuntut Angkatan Laut AS agar membatasi latihan sonar untuk mengurangi resiko yang dialami paus. Tahun 2008, konflik ini muncul ke level Mahkamah Agung yang harus menyeimbangkan ancaman kelestarian paus dari sonar dengan resiko militer yang disebabkan latihan angkatan laut yang menggunakan sonar untuk mendeteksi kapal selam musuh. Pengadilan memutuskan kalau Angkatan Laut dapat terus berlatih, namun Angkatan Laut diwajibkan mengembangkan metode yang lebih baik untuk melindungi para paus.

Pengetahuan paling kritis untuk melindungi paus-paus ini dari resiko sonar termasuk mengukur threshold antara level paparan yang aman dan beresiko, namun hingga kini tidak diketahui bagaimana paus berparuh merespon sonar dan level yang dapat menyebabkan masalah. “Kita tahu sedikit sekali mengenai paus berparuh karena mereka hidup di perairan yang dalam jauh di lepas pantai, dimana mereka dapat menyelam dalam satu tarikan napas ke kedalaman hingga lebih dari satu mil selama satu setengah jam,” kata Peter Tyack, ilmuan senior di Lembaga Oseanografi Woods Hole (WHOI).

Sekarang, sebuah tim peneliti internasional melaporkan dalam sebuah makalah yang dipimpin oleh Tyack, data pertama mengenai bagaimana paus berparuh merespon latihan sonar angkatan laut. Hasil mereka menyarankan bahwa sonar memang mempengaruhi perilaku dan gerakan paus.

Tyack dan koleganya menggunakan dua metode kompelementer untuk menyelidiki respon perilaku paus berparuh terhadap sonar: “pendekatan oportunistik yang memonitor respon paus pada latihan angkatan laut multi hari mencakup sonar frekuensi menengah taktis, dan pendekatan eksperimental menggunakan playback sonar simulasi dan suara pengendali pada paus yang ditandai dengan peralatan yang merekam suara, gerakan dan orientasi,” lapor para ilmuan dalam edisi terbaru jurnal ilmiah online PLoS ONE, yang diterbitkan oleh Public Library of Science.

 
 
Tim peneliti mengembangkan eksperimen yang meningkatkan level sonar secara perlahan pada paus yang ditandai, menghentikan paparan segera saat paus mulai merespon, mengukur paparan tersebut, dan mendefinisikan responnya. Pendekatan eksperimental menggunakan tanda untuk mengukur paparan akustik dan reaksi perilaku paus berparuh pada paparan terkendali masing-masing pada sonar militer simulasi, panggilan paus pembunuh dan derau pita terbatas. “Eksperimen ini sangat sulit dikembangkan, dan merupakan terobosan besar walaupun semata hanya mampu mengembangkan sebuah studi yang dapat dengan aman meneliti respon ini,” kata Tyack. “Tiga kali paus berparuh yang ditandai terpapar suara playback secara eksperimental saat mereka mencari makan di kedalaman, mereka lalu berhenti mencari makan secara tiba-tiba lalu naik ke permukaan secara perlahan, menjauh dari suara.

Paus berparuh menggunakan biosonar mereka sendiri untuk mencari mangsa saat mereka mencari makan; ini artinya ia dapat berhenti memonitor adanya mangsa dengan mendengarkan saat biosonarnya berhenti berdetik. Para ilmuan menemukan kalau paus berparuh merespon sonar dengan berhenti berdetik, mereka mampu memonitor reaksi paus berparuh saat latihan sonar aktual dari kejauhan. Penelitian ini dilakukan di daerah pengujian angkatan laut dimana array mikrofon bawah air atau hidrofon, menutupi lantai laut, memungkinkan suara paus dimonitor dalam lebih dari 1500 km persegi. “Saat latihan sonar aktual, paus berparuh umumnya terdeteksi di dekat periferi daerah, rata-rata 16 km dari transmisi sonar. Saat latihan berhenti, paus berparuh perlahan mengisi pusat jangkauan dalam 2-3 hari,” lapor mereka.

Seekor paus yang ditandai satelit bergerak keluar jangkauan saat latihan, kembali sekitar 2-3 hari setelah latihan. “Hasil kombinasi menunjukkan gangguan serupa pada perilaku mencari makan dan penghindaran oleh paus berparuh dalam dua konteks berbeda, pada paparan di bawah batas yang ditentukan pemerintah sebagai batas aman,” lapor para ilmuan. “Hal ini menunjukkan kalau paus berparuh sangat sensitif pada suara. Perilaku mereka cenderung diganggu oleh tingkat paparan sekitar 140 desibel (dB), sehingga mereka memerlukan threshold yang lebih rendah daripada banyak peraturan terbaru yang mengantisipasi gangguan perilaku sekitar 160 dB,” kata Tyack. “Namun pengamatan pada jangkauan angkatan laut menunjukkan kalau walaupun sonar dapat mengganggu perilaku paus, pengawasan dan manajemen yang baik dapat mengurangi resiko mereka terdampar.”

Penelitian ini didukung oleh Kantor Penelitian Angkatan Laut AS, Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Strategis AS, Divisi Kesigapan Lingkungan Angkatan Laut AS, Divisi Perang Kapal Selam Operasi Angkatan Laut AS (Pengawasan Bawah Laut), NOAA dan Program Industri Bersama pada Suara dan Kehidupan Laut di Asosiasi Produsen Minyak dan Gas Internasional. Para pemberi dana tidak terlibat dalam desain studi, pengumpulan dan analisa data, keputusan untuk menerbitkan atau persiapan naskah.

Sumber berita :

Referensi Jurnal:
Tyack, P.L., Zimmer, W.M.X., Moretti, D., Southall, B.L., Claridge, D.E., Durban, J.W., Clark, C.W., D’Amico, A., DiMarzio, N., Jarvis, S., McCarthy, E., Morrissey, R., Ward, J., Boyd, I.L. Beaked Whales Respond to Simulated and Actual Navy Sonar. PLoS ONE, 2011; 6 (3): e17009 DOI: 10.1371/journal.pone.0017009

0 komentar:

Posting Komentar